walau gw dah keluar dr 19 tapi gw berharap ini bisa berguna buat kalian semua di masa depan
- Acapkali polah sang buah hati membuat jantung orangtua berdebar kencang. Pasalnya, anak-anak usiA toddler (1-3 tahun) kerap mencoba apa saja yang dilihatnya, termasuk hal-hal yang menyerempet bahaya. Misalnya saja, ketika sibuyung atau si upik mengamati sang bunda memasak di dapur, mereka ingin membantu. Sayangnya, anak-anak belum paham benar cara memakai pisau atau menyalakan api, kemungkinan besar bisa melukai dIkhawatirnya, orangtua mengambil tindakan kekerasan fisik untuk mendisiplinkan anak. Sebut saja menampar, memukul, mencubit, menjewer, dsb dianggap bentuk praktis dalam mengingatkan tindak tanduk si anak. Sepintas orangtua berpikir untuk memberi yang terbaik bagi anak, akan tetapi benarkah cara mendisiplinkan seperti itu?
Pukul Pantat Tetap Berbahaya
Di antara bagian tubuh seperti paha, lengan, daun telinga, pantat, tangan dan kaki, pantat sering disebut-sebut sebagai bagian tubuh yang empuk. Tak heran, bila anak sering dipukul pantatnya karena dianggap tidak berbahaya.
Dilihat dari perkembangan sensorik anak, Indri Savitri, Psi, Kepala Divisi Klinik dan Layanan Masyarakat Lembaga Psikologi Terapan Universitas Indonesia, ada beberapa anak yang memang membutuhkan sentuhan tinggi. Bisa dilihat dari anak-anak usia toddler yang gemar menjatuhkan diri di trampolin, atau suka berguling-guling sembari membanting tubuhnya dianggap sebagai kesenangan. Bisa jadi ketika anak dipukul pantatnya seperti layaknya bermain dan tujuan mendisiplinkan anak tidak tercapai. Atau pada kasus lain, “Saat anak dijentik tangannya, ia terdiam dan takut. Dan anak sudah mengerti sejak usia sekitar setahun, tepatnya 8-9 bulan,” tambah Indri mengenai sensivitas anak.
Malah lewat raut wajah saja, anak paham dirinya bersalah. Misalnya saat orangtua membelakkan mata. Perubahan ekspresi itu ditangkap anak sebagai ketidaksetujuan orang tua terhadap perilaku dirinya.
Sayangnya, kebanyakan orang ketidaksetujuannya dalam bentuk fisik. Cara mudah yang ditempuh melalui pukul pantat. Diakui dr. Iramaswaty Kamarul, SpA (K), dokter spesialis anak bagian neurologi anak dari Pela 9 Klinik Terpadu Tumbuh Kembang Anak dan Remaja, pantat merupakan organ tubuh yang empuk karena terdiri dari kumpulan otot. Selain itu, terdapat pula persyarafan otot dan persyarafan kulit di pantat.
Meski pemukulan sebatas memar atau luka pada bagian kulit saja, namun, tindakan pukul pantat tetap berbahaya, “Bila tidak sengaja mengenai tulang belakang berakibat fatal. Bisa terjadi kelumpuhan, gangguan buang air besar,” Jelas dokter yang menolak mentah-mentah bentuk kekerasan sebagai bentuk mendisiplinkan anak.
Melepas Emosi Sesaat
Tingkat kesabaran orang tua pun terbatas, apalagi bila anak sudah melangkah jauh dari aturan-aturan yang sudah ditentukan. Contohnya, biasanya anak-anak usia toddler makanya sedikit sulit dan lebih suka bermain. Jika didiamkan saja, bisa jadi anak-anak kekurangan asupan makanan bergizi, padahal mereka sedang dalam masa pertumbuhan pesat. Bila sudah begitu, cara mudahnya orang tua cukup pukul pantat, anak akan mengerti dirinya bersalah. “Pukul pantat, cubit atau jewer hanya memuaskan emosi sesaat dan merupakan cara marah yang tidak konstruktif. Artinya, anak belajar untuk mengajari orang dengan hukuman,” terang Indri panjang lebar.
Belum lagi usia toddler yang gemar meniru ini akan mempraktikkan kebiasaan yang ada di rumah dengan lingkungannya. Misalnya bila tanak menemukan temannya berlaku semena-mena. Dengan mudahnya, ia akan melakukan tindakan serupa dalam menegur teman sebayanya atau orang lain. Akhirnya, anak salah persepsi dan ia pun dijauhi teman-teman.
Trauma Fisik dan Psikis
Akibat yang ditimbulkan dari memukul pantat ialah memar hingga lika pada kulit. Meski, menurut dr. Ira, sakit yang muncul tidak seberapa karena akan pulih dengan sendirinya. Ia menyarankan orangtua tidak memakai bentuk kekerasan fisik karena rasa sakit pada fisik akan mempengaruhi psikologi anak.
Kebiasaan pukul pantat ini akan memilik efek yaang berbeda pada masing-masing karakter anak. Sebagai contoh, “Bila anak memiliki temperamen baik, ia akan tumbuh menjadi pribadi yang penakut, serba ragu, takut dimarahi dan sering merasa terancam. Sedangkan bagi anak yang challenging atau pemberontak, ngambek, gampang marah dan agresif,” papar Indri kelahiran Jambi, 4 September 1972 ini.
Solusi Mendisiplinkan Anak
Untuk membentuk perilaku anak, orang tua memerlukan penguat. Dalam hal ini berupa ujian atau tindakan positif. Misalnya saja, anak tidak mau membereskan mainannya. Padahal setelah bermain, ia musti merapikan kembali. Sebaiknya orang tua tidak bernada tinggi, mengancam atau memukul pantat. Namun,”Berilah anak reward ketimbang punishment,” ucap dr. Ira yang konsen terhadap masalah tumbuh kembang anak.
Misalnya saja, jika anak tidak mau mengikuti aturan yang berlaku, cukup kurangi saja kesenangannya. Seperti mengurangi jatah bermain atau menonton TV.
Diakui Indri seharusnya orang tua tidak boleh melakukan kekerasan fisik. Kenyataannya, orang tua menggunakan kekerasan fisik dalam situasi genting karena orang tua tidak cukup waktu untuk berdiskusi dengan si kecil, padahal bahaya sudah ada di depan mata. Setelah bertindak keras, orang tua musti menjelaskan alasannya. Jangan sampai anak bertanya-tanya dan tidak mengerti alasannya.
Sebagai contoh, anak memasukkan tangan ke saklar listrik. Padahal, jelas-jelas saklar itu berbahaya dan anak bisa tersengat listrik dan terluka bila terlambat ditangani.
“Anak-anak usia toddler sudah bisa diajak berdisukusi. Tinggal cara orang tua saja bagaimana menyampaikan pesan pada anak,” tambah Indri.
Misalnya, anak sulit mandi. Orangtua tidak perlu memukul pantat, cukup bercerita mengenai suatu pertualangan yang membangun daya imajinasi anak. Ia akan merasa lebih nyaman.
Atau cara lain ketika emosi orang tua tidak bisa dikendalikan lagi,”Ada baiknya orang tua memberlakukan time out atau mengambil jarak dengan anak. Namun, bukan berarti mengurung anak di dalam kamar, tetapi hanya mendiamkan anak paling lama lima menit. Biasanya, anak akan timbul rasa bersalah dalam dirinya,” pungkas Indri.
Tanamkan Regulasi Sejak Dini
Bila Anda sudah terlanjur memdisiplinkan anak dengan memukul pantatnya, bukan berarti Anda menyerah bukan? Toh, semuanya bisa diperbaiki.”Biasakan anak mendapat touching yang bersahabat. Seperti memberi pujian saat anak berhasil melakukan sesuatu atau sentuhan lembut saat meminta maaf.” Ujar Indri sang pelahap buku chicken soup ini.
Tambahnya lagi, biasakan anak sejak bayi memiliki regulasi harian. Misalnya saja, kapan anak itu makan, minum, bermain atau berinteraksi dengan aturan yang jelas. Yang penting dalam pelaksanaan regulasi diperlukan konsistensi. Artinya, dengan alasan apapun, seperti perasaan bersalah karena sibuk bekerja, jangan mengijinkan anak untuk bertindak semaunya. Memberikan hadiah yang tidak seharusnya diterima anak juga musti dihindari agar anak menjadi disiplin.
sumber : Trademark moderator forum idgs