Tanggal 30 Agustus 2006 diluncurkan buku Beribu Alasan Rakyat Mencintai Pak Harto di Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Buku yang ditulis oleh Dewi Ambar Sari dan Lazuardi Sage itu menggambarkan jasa-jasa sang mantan Presiden bagi bangsa Indonesia. Namun "jasa-jasa" itu mengundang kontroversi.
Pengembalian Irian Barat ke pangkuan Ibu Pertiwi apakah tidak lebih banyak merupakan keberhasilan Soekarno dan Subandrio berdiplomasi sehingga AS berpihak dan mendukung Indonesia dalam menekan Belanda.
Apakah integrasi Timor Timur itu suatu prestasi karena dalam Negara Proklamasi 17 Agustus 1945, daerah itu tidak termasuk wilayah Indonesia (bukan bekas jajahan Belanda).
Seminggu sebelumnya (24 Agustus) didiskusikan buku Soeharto sehat di kantor Kontras Jakarta. Buku ini menegaskan bahwa Soeharto setelah dirawat di rumah sakit menjadi sehat sehingga dapat diadili. Secara politis dan ekonomi ia masih sangat sehat dalam arti tidak ada aparat hukum yang berani menyentuh sang Jenderal besar dan kondisi keuangan keluarga serta kroninya masih berlimpah.
Kedua buku yang isinya bertentangan itu memperlihatkan bahwa posisi Soeharto dalam sejarah Indonesia masih dan akan terus diperdebatkan. Tulisan ini akan menggambarkan spektrum penulisan atau penilaian terhadap "The Smiling General", mulai dari sangat positif sampai kepada yang paling negatif terhadap Soeharto.
Bapak Pembangunan
Di sebuah negeri ketika "pembangunan adalah segala-galanya" maka gelar apa lagi yang lebih tinggi dari "Bapak Pembangunan" . Itulah yang diperoleh Soeharto secara formal melalui TAP MPR no V/MPR/1983. Maka yang diterima setelah itu tak lebih dari pelengkap pujaan yang diberikan oleh para pembantu dan orang-orang di sekelilingnya. Ini tergambar dari judul artikel yang disumbangkan para tokoh ketika ia berulangtahun ke-70 tahun 1991.
Jailani Naro menilainya sebagai "Penyelamat pancasila". R Sukardi menganggapnya “Memegang Teguh Konstitusi". R Soeprapto mengatakan Soeharto "Memiliki Indra Keenam". Menurut Habibie, sang Jenderal "Menyatu dengan Aspirasi Bangsa". Edi Sudradjat memandangnya sebagai "Negarawan Puncak bangsa" dan Try Sutrisno memujanya sebagai "Pemimpin Paripurna".
Walaupun tidak terlalu muluk-muluk para teknokrat yang mendampinginya selama belasan tahun bersikap pragmatis saja. Kekaguman mereka diperlihatkan dengan mengatakan, walau tidak bersekolah tinggi, Soeharto cepat belajar dan menguasai beberapa aspek ekonomi atau pertanian. Sementara itu kerabatnya tentu membela Soeharto mati-matian seperti Probosutedjo yang bersikukuh bahwa Soeharto tidak memiliki simpanan kekayaan di luar negeri. Birokrat
yang tidak sudi mantan Presiden itu dihujat berdalih dengan rumusan klise bahwa setiap pemimpin pasti mempunyai kelebihan dan kekurangan.
Orang Kuat dan Koruptor Agung
Konsep Orang Kuat ditujukan terhadap pemimpin yang memerintah sangat lama di tanah air seperti Soekarno dan Soeharto. Karena berkuasa demikian lama, maka penyimpangan tentu tak terhindarkan. Kekuasaan dimilikinya dari penentuan Menteri, Gubernur, Pangdam, bahkan sampai Bupati. Keputusan yang bersangkutan dengan keuangan negara sampai BUMN berada di tangannya. Tidak boleh ada penolakan yang tidak langsung sekalipun apalagi yang ditujukan frontal. Pernyataan Kelompok Petisi 50 adalah contoh sikap kritis yang tidak disukai dan akibatnya mereka mengalami kematian perdata bahkan tidak boleh datang ke pesta pernikahan yang dihadiri oleh Bapak Presiden.
Maka praktek korupsi pun menjadi merajalela. Yayasan menjadi multifungsi, menebar citra filantrofi dan sekaligus jadi bank untuk bisnis kroni dan keluarga seperti yang ditulis oleh George Junus Aditjondro. Bahkan menurut Aditjondro kasus korupsi itu terkait pula dengan pelanggaran HAM baik pelanggaran HAM berat maupun pelanggaran HAM yang bersifat ekonomi-sosial.
Ketika Ariel Heryanto mendefinisikan "terorisme negara" sebagai "upaya yang dilakukan untuk membuat takut warga agar terjadi kepatuhan yang mutlak terhadap penguasa" maka ia juga mengacu kepada praktek yang terjadi pada era Orde Baru. Pembantaian massal 1965, pembuangan paksa ke pulau Buru, pembunuhan misterius, kasus DOM di Aceh dan Papua, kasus Timtim, kasus Tanjung Priok, kasus 27 Juli 1996, Kerusuhan Mei 1998 termasuk kasus Trisakti, semuanya terjadi ketika republik ini dipimpin Jenderal Soeharto. Tentu pelaku apalagi dalang dari terorisme negara itu dapat disebut teroris.
Yang unik tentu buku yang ditulis oleh Kharil Ghazali Al-Husni, 15 Dalil Mengapa Soeharto masuk Neraka (Jakarta, Pustaka Muthmainnah, 1999, 213 halaman). Buku itu tampaknya hanya dicetak satu kali setelah itu hilang dari pasaran, namun terdapat pada katalog perpustakaan University of Washington, AS.
Sangat sulit untuk menilai Soeharto dewasa ini. Demikian pendapat saya setelah ia lengser tahun 1998. Ungkapan itu saya ulang kembali ketika menulis pengantar buku R.E.Elson, Biografi Politik Suharto. Namun pernyataan seorang warga Jakarta di dalam sebuah polling yang mengatakan bahwa Soeharto adalah Pembangun Terbesar sekaligus Perusak Terbesar di Negara ini adalah ungkapan yang lebih inovatif ketimbang ungkapan klise "setiap pemimpin memiliki kelebihan dan kekurangan". ***